Senin, 10 Oktober 2011

SKRIPSI "PEMANFAATAN LAHAN BEKAS TAMBANG MANGAN"

1.                   Judul :
“PEMANFAATAN LAHAN BEKAS TAMBANG MANGAN DI DESA TUKUNENO KABUPATEN BELU”
1.1             1.1                  Latar Belakang
Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan (ekosistem). Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan hidupnya pun meningkat, akibatnya terjadi peningkatan permintaan akan lahan seperti di sektor pertanian dan pertambangan.Menurut Suprapto, S.J., 2006, sejalan dengan hal tersebut dan dengan semakin hebatnya kemampuan teknologi untuk memodifikasi alam, maka manusialah yang merupakan faktor yang paling penting dan dominan dalam merestorasi ekosistem rusak (sumber : internet)
Kalau kita lihat Indonesia terletak antara lempeng benua Asia disebelah utara, lempeng benua Australia disebelah selatan dan lempeng Samudera Atlantik disebelah timur, tetapi juga terletak pada posisi antara dua lempeng kecil yaitu lempeng benua Australia dengan lempeng Samudera Indonesia yang kaya akan nodul-nodul logam terutama Mineral Logam Mangan, bertumbukan dengan lempeng kecil Banda pada bagian selatan terdapat adanya penunjaman sampai posisi menjauhinya akan mengontrol sebaran dan pembentukan bahan galian, terutama bahan galian logam.
Suprapto, S.J., 2006 menyatakan bahwa kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relatif tidak berubah, yang berubah adalah skala kegiatannya. Mekanisasi peralatan pertambangan telah menyebabkan sekala pertambangan semakin membesar. Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam mencapai lapisan bumi jauh di bawah permukaan. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting. Pengaruh kegiatan pertambangan mempunyai dampak yang sangat signifikan terutama berupa pencemaran air permukaan dan air tanah (sumber : internet)
Rahmawaty, 2002 menyatakan bahwa kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan rehabilitasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi semula (sumber : internet).
Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak dan bahan tambang lainnya apabila diekstraksi harus dalam perencanaan yang matang untuk mewujudkan proses pembangunan nasional berkelanjutan (Arif, 2007). Di antara keberlanjutan pembangunan tersebut yaitu dapat terwujudnya masyarakat mandiri pasca penutupan/pengakhiran tambang (Pribadi, 2007). Aktifitas ekonomi tetap berjalan setelah pengakhiran tambang, dan tidak terjadi “Ghost Town” (Kota Hantu).(sumber : internet)
Secara tektonik, Pulau Timor dan beberapa pulau lainnya di bagian barat terletak pada Busur Banda luar tak bergunungapi, beranomali gaya berat negatif dan termasuk dalam zona gempa dangkal (kedalaman pusat gempa kurang dari 100 km). Struktur geologinya sangat rumit dan ini tercermin dari:
1.      Terdapatnya aneka ragam batuan dari berbagai umur dan batuan-batuan tersebut umumnya bersentuhan secara struktur.
2.      Terdapatnya batuan campur-aduk (melange) yang menutupi hampir 40% dari pulau ini.
Petunjuk adanya pemineralan sebelumnya telah didapat dari beberapa penyelidik terdahulu yang pernah mengadakan penyelidikan di Pulau Timor dan sekitarnya. Jenis sumberdaya mineral yang dijumpai di daerah ini menurut para para penulis terdahulu ialah krom, nikel, tembaga, asbes, mangan, gipsum dan material/bahan bangunan. Krom dan nikel berupa mineral kromit dan garnierit ditemukan pada bongkah-bongkah batuan ultra basa yang tersebar tidak merata di kaki pegunungan sekitar Atapupu. Tembaga (malakhit) didapatkan pula pada bongkah batuan ultrabasa di tempat yang sama, disamping itu didapatkan kalkopirit pada batuan malihan amfibolit dari Fatu Lakaan.
Ekspansi kapital pertambangan ke kepulauan NTT tergolong baru dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Bisa dikatakan tak ada perusahaan raksasa tambang yang beroperasi di NTT sebelum liberalisasi dimulai tahun 1998. Jenis usaha atau industri yang berkembang pun lebih banyak pada industri jasa, seperti kontraktor, pariwisata, perdagangan hasil bumi, dan sejumlah kecil percetakan. Paling banter singgungan pada pertambangan lewat usaha kontraktor yang melakukan galian C (batu dan pasir) untuk bahan campuran bangunan atau jalan. Demikian halnya satu-satunya industri besar yang merupakan aset milik pemerintah daerah adalah PT. Semen Kupang yang memasok kebutuhan di daerah. Perusahaan daerah ini mulai bangkrut sejak masuknya produk semen Tonasa dan Gresik.
Pasca 1998, terutama seiring berlakunya Undang-Undang Penanaman Modal, mulai banyak perusahaan besar masuk dan mencari peluang keuntungan pada berbagai bidang ekonomi, terutama yang terkait dengan keberadaan sumber daya alam. Beberapa perusahaan asal Jepang berinvestasi di bidang kelautan, seperti budi-daya mutiara, rumput laut, penangkapan ikan, kemudian pembelian dan penjualan ikan. Meski belum sepenuhnya menggusur kekuatan ekonomi lama, perusahaan besar lainnya mulai masuk ke perdagangan komoditi pertanian dengan menjemput langsung ke tangan petani. Sementara pada bidang pertambangan, eksplorasi dan eksploitasi telah dilakukan pada marmer, pasir besi, minyak bumi, gas alam, emas, dan mangan.
Persoalan kerusakan lingkungan pasca kegiatan pertambangan seperti disebutkan pada awal tulisan, yang sekarang masih tampak menyerupai gejala, di kemudian hari akan memburuk jika tidak ada perubahan yang fundamental. Pengalaman berbagai daerah lain telah mengajarkan kita untuk tidak mengulang kesalahan. Beberapa contoh bisa disebut, seperti penambangan emas oleh Freeport di Papua, Newmont di Nusa Tenggara Barat, tembaga di Sulawesi Selatan, pertambangan timah di Bangka Belitung, berbagai pertambangan Batubara di Kalimantan, dan lain-lain. Dalam ketiadaan skema industrialisasi nasional yang jelas maka keberadaan pertambangan hanya memperkaya segelintir orang, terutama kapitalis di luar negeri, tanpa meninggalkan nilai tambah apapun bagi rakyat.
Pencarian batu mangan ke NTT akan terus ada dan bertambah dalam beberapa tahun ke depan, bahkan bisa lebih lama. Alasan utamanya sederhana, yaitu pemenuhan kebutuhan industri di negeri Tiongkok dan Asia Timur lainnya (Jepang dan Korea) yang cenderung mencari sumber bahan baku terbaik dan terdekat, dibandingkan harus mendatangkan komoditi tersebut dari Ukraina ataupun Afrika Selatan yang memakan biaya lebih besar.
Masyarakat Belu pada umumnya adalah petani dan beternak serta nelayan untuk yang hidup disepanjang pantai. Tetapi dengan maraknya Mangan apalagi saat ini sedang menjadi pusat perhatian masyarakat untuk mencari dan mendapatkan mangan.
Pertambangan mangan di Kabupaten Belu terdapat hampir di seluruh sisi wilayah di Kabupaten Belu, dan salah satu daerah tempat pertambangan mangan yang paling menonjol adalah di Desa Tukuneno, Kabupaten Belu. Pertambangan mangan di Desa Tukuneno yang mempunyai jarak lebih dekat ke arah kota Atambua kurang lebih 12 Km, dan jarak menuju pelabuhan Atapupu yaitu 317 Km.sehingga lebih dipilih sebagai lokasi studi penelitian. Luas Desa Tukuneno adalah 11.372 Ha, yang terdiri atas luas permukiman yaitu 9.500 Ha/m2, luas persawahan 50 Ha/m2, luas perkebunan 576 Ha/m2, luas kuburan 4 Ha/m2, luas pekarangan 702 Ha/m2, luas taman 533 Ha/m2, luas perkantoran 1 Ha/m2, dan luas prasarana umum lainnya 6 Ha/m2. Untuk jumlah penduduk di Desa Tukuneno adalah 3.407 jiwa terdiri atas 1.615 jiwa (laki-laki) dan 1.792 jiwa (perempuan), ( Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Belu, 2008). Kegiatan tambang mangan ini merupakan tambang galian terbuka yang telah dilaksanakan dari tahun 2008 dan untuk kegiatan eksploitasi adalah jangka panjang yaitu 10 -20 tahun. Dimana kedalaman dari tambang adalah 50 – 70 meter dari permukaan asli tanah
Masalah-masalah yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan pertambangan mangan di desa Tukuneno khususnya di lokasi studi penelitian yaitu keadaan kondisi fisik dasar yang rusak akibat kegiatan penambangan, seperti hilangnya unsur hara tanah yang asli dan adanya perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan
Beberapa perihal di atas yang mendasari dan melatarbelakangi dilakukan sebuah kajian akademis untuk pemanfaatan lahan bekas pertambangan mangan di Kabupaten Belu khususnya di Desa Tukuneno Kecamatan Tasifeto Barat. Selain itu, penelitian ini mendukung adanya kemauan pemerintah daerah, untuk menjadikan daerah bekas tambang untuk direklamasi sehingga dapat diketahui pemanfaatan lahan yang sesuai dengan lokasi studi.
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang terkait dengan “Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang” sebagai berikut:
1.      Bagaimana kondisi fisik lingkungan akibat dari kegiatan pertambangan mangan?
2.      Bagaimana pola peruntukan pemanfaatan ruang lokasi lahan bekas pertambangan sesuai dengan kondisi wilayah?

2.1       Tujuan dan Sasaran

Dalam bab ini akan dijabarkan tentang tujuan dari penelitian ini serta sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
2.1.1       2.1.1               Tujuan
Dengan bertitik tolak pada perumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi fisik lahan bekas tambang dan memberikan alternatif perencanaan pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan kondisi lokasi penelitian.
2.1.2        Sasaran
Adapun yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengidentifikasikan kondisi fisik dari lahan bekas tambang
2.      Untuk mengetahui pemanfaatan lahan bekas tambang yang sesuai dengan lokasi bekas tambang

2.2       Ruang Lingkup

Dalam penelitian ini terdapat dua lingkup penelitian yang akan dibahas yaitu ruang lingkup lokasi dan ruang lingkup materi. Ruang lingkup lokasi digunakan untuk membatasi ruang kerja dalam suatu lokasi, sehinggga pekerjaannya lebih difokuskan pada lingkup-lingkup tertentu dan tidak keluar dari alur pekerjaan dan ruang lingkup materi merupakan teori yang digunakan untuk mencapai sasaran dalam suatu perencanaan.
2.2.1        Ruang Lingkup Lokasi
Ruang lingkup lokasi kajian dalam penelitian ini adalah Desa Tukuneno, Kecamatan Tasifeto Barat Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.
Kabupaten Belu yaitu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
·      Sebelah Utara          : Selat Ombay dan laut Timor
·      Sebelah selatan        : Laut Timor
·      Sebelah Barat          : Kabupaten TTS Dan TTU
·      Sebelah Timur         : Negara Timor Leste
Kabupaten Belu terletak diantara 1240 BT – 1260 BT dan 800 LS – 1000 LS dengan luas wilayah 2445,57 Km2  atau 5,16 % luas wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Batas-batas Desa Tukuneno sebagai berikut :
Sebelah Utara              : Desa Fatuketi
Sebelah Selatan            : Desa Naikasa
Sebelah Barat               : Kabupaten TTU
Sebelah Timur                         : Kecamatan Tasifeto Timur
2.2.2        Ruang Lingkup Materi
Dalam penelitian ini materi yang akan dikaji adalah reklamasi lahan bekas tambang dengan revegetasi pola ruang ideal yaitu melakukan penghijauan atau reboisasi di lokasi lahan bekas tambang. Dengan meliputi beberapa cakupan dalam pemanfaatan lahan bekas tambang sebagai berikut :
1.      Kondisi Fisik Wilayah Lahan Bekas Tambang
2.      Sosial Ekonomi Masyarakat sekitar lahan bekas tambang
3.1              Kegiatan Pertambangan dan Dampaknya
Dalam bab ini  akan dibahas kajian pustaka yang berkaitan dengan pemanfaatan  lahan bekas tambang. Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang peraturan perundang – undangan dan teori-teori yang mendukung dalam “Pemanfaatan  Lahan Bekas Tambang di Desa Tukuneno,Kabupaten Belu ”, sebagai obyek penelitian. Kajian pustaka ini berisikan tentang konsep, defenisi, karakteristik, variabel dan tolok ukur dari kelayakan pemanfaatan lahan bekas tambang. Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan sangat rumit, sarat resiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah harus dipahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang
Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi penaksiran sumberdaya dan cadangan, perancangan batas penambangan (final/ultimate pit limit), pentahapan tambang, penjadwalan produksi tambang, perancangan tempat penimbunan (waste dump design), perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) termasuk pengembangan masyarakat (Community Development) serta Penutupan tambang.
Perencanaan tambang sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan dan pengembangan pegawai dan masyarakat sekitar tambang (Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan, Universitas Sam Ratulangi, Manado).
Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut :
1.      Eksplorasi
2.      Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan
3.      Pengolahan bijih dan operasional pabrik pengolahan
4.      Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya
5.      Pembangunan infrastuktur, jalan akses dan sumber energi
6.      Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman
Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan ekstraksi dan pembuangan limbah batuan, dan pengolahan bijih serta operasional pabrik pengolahan.
Diperkirakan lebih dari 2/3 kegiatan eksrtaksi bahan mineral di dunia dilakukan dengan pertambangan terbuka. Teknik tambang terbuka biasanya dilakukan dengan open-pit mining, strip mining, dan quarrying, tergantung pada bentuk geometris tambang dan bahan yang digali.
Ekstraksi bahan mineral dengan tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya puncak gunung dan menimbulkan lubang yang besar. Salah satu teknik tambang terbuka adalah metode strip mining (tambang bidang). Dengan menggunakan alat pengeruk, penggalian dilakukan pada suatu bidang galian yang sempit untuk mengambil mineral. Setelah mineral diambil, dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama. Batuan limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan oleh galian sebelumnya. Teknik tambang seperti ini biasanya digunakan untuk menggali deposit batubara yang tipis dan datar yang terletak didekat permukaan tanah.
Teknik penambangan quarrying bertujuan untuk mengambil batuan ornamen, dan bahan bangunan seperti pasir, kerikil, bahan industri semen, serta batuan urugan jalan. Untuk pengambilan batuan ornamen diperlukan teknik khusus agar blok-blok batuan ornamen yang diambil mempunyai ukuran, bentuk dan kualitas tertentu. Sedangkan untuk pengambilan bahan bangunan tidak memerlukan teknik yang khusus. Teknik yang digunakan serupa dengan teknik tambang terbuka.
Tambang bawah tanah digunakan jika zona mineralisasi terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jika digunakan cara tambang terbuka jumlah batuan penutup yang harus dipindahkan terlalu besar. Produktifitas tambang bawah tanah 5 sampai 50 kali lebih rendah dibanding tambang terbuka, karena ukuran alat yang digunakan lebih kecil dan akses ke dalam lubang tambang lebih terbatas.
Kegiatan ekstraksi menghasilkan limbah/waste dalam jumlah yang sangat banyak. Total waste yang diproduksi dapat bervariasi antara 10 % sampai sekitar 99,99 % dari total bahan yang ditambang. Limbah utama yang dihasilkan adalah batuan penutup dan limbah batuan. Batuan penutup (overburden) dan limbah batuan adalah lapisan batuan yang tidak/miskin mengandung mineral ekonomi, yang menutupi atau berada di antara zona mineralisasi atau batuan yang mengandung mineral dengan kadar rendah sehingga tidak ekonomis untuk diolah. Penutup umumnya terdiri dari tanah permukaan dan vegetasi sedangkan batuan limbah meliputi batuan yang dipindahkan pada saat pembuatan terowongan, pembukaan dan eksploitasi singkapan bijih serta batuan yang berada bersamaan dengan singkapan bijih.
Hal-hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada kegiatan ekstraksi dan pembuangan limbah/waste agar sejalan dengan upaya reklamasi adalah :
1.      Luas dan kedalaman zona mineralisasi
2.      Jumlah batuan yang akan ditambang dan yang akan dibuang yang akan menentukan lokasi dan desain penempatan limbah batuan.
3.      Kemungkinan sifat racun limbah batuan
4.      Potensi terjadinya air asam tambang
Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan yang berkaitan dengan kegiatan transportasi, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan bahan kimia racun, bahan radio aktif di kawasan penambangan dan gangguan pernapasan akibat pengaruh debu.
1.      Sifat-sifat geoteknik batuan dan kemungkinan untuk penggunaannya untuk konstruksi sipil (seperti untuk landscaping, dam tailing, atau lapisan lempung untuk pelapis tempat pembuangan tailing).
2.      Pengelolaan (penampungan, pengendalian dan pembuangan) lumpur (untuk pembuangan overburden yang berasal dari sistem penambangan dredging dan semprot).
3.      Kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat penambangan bawah tanah.
4.      Terlepasnya gas methan dari tambang batubara bawah tanah.
Pergerakan tektonik di P. Timor yang berlangsung sejak Kapur hingga akhir Eosen akibat pergerakan Benua Australia ke utara (Audrey-Charles, dkk., 1975; Crostella dan Powel, 1976) dengan zona penunjaman condong ke utara. Akibat pergerakan tersebut terjadi benturan busur kepulauan “Paleo Timor” dengan kerak samudera sehingga membentuk batuan campur aduk, berkomposisi basa dan ultrabasa, pemalihan batuan Formasi Maubisse dan Komplek Mutis serta kegiatan gunungapi di beberapa tempat. Sedangkan (Kupang Mining, 1990) menginterpretasikan bahwa batuan malihan dari Formasi Mutis dan batuan ultra basa tersebut merupakan formasi-formasi batuan allochton yang berasal dari sekitar Pulau Kalimantan dan Sulawesi pada Pra Perm.
Pada kala Neogen (Crostella, dkk 1976; Katili, 1975; Audrey-Charles, dkk, 1975) terjadi lagi kegiatan tektonik sebagai akibat penunjaman (subdaksi) yang membentuk struktur-struktur yang telah ada, proses lanjut pembentukan batuan campur aduk, kegiatan gunungapi serta pengangkatan hingga ketinggian lebih dari 3.000 meter (Sopaheluwakan, 1990). Pengangkatan tersebut terjadi akibat pengesaran, imbrikasi dan duplikasi serta intrusi plutonik pada orogenesa Neogen, sebagaimana diperlihatkan oleh sedimen Miosen – Pliosen yang diendapkan di atas komplek orogen, memperlihatkan lingkungan semakin dangkal ke arah atas, dari batial hingga laut dangkal (Simanjuntak, T.O., 2000).
Kegiatan pertambangan mempunyai karakteristik lahan yang khas dibandingkan dengan karakteristik kegiatan lainnya, terutama menyangkut sifat, jenis dan lokasinya. Kegiatan pertambangan melibatkan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan sering ditemukan pada lokasi- lokasi yang terpencil. Selain itu pembangunan membutuhkan investasi yang besar terutama untuk membangun fasilitas infrastruktur. Karakeristik yang penting lainnya bahwa jumlah cadangan sumberdaya alam tidak dapat diketahui dengan pasti, pasar dan harga sumberdaya mineral menyebabkan industri pertambangan dioperasikan pada tingkat resiko yang tinggi baik dari segi aspek fisik, perdagangan, social ekonomi maupun aspek politik.
Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan. Menurut Jordan (1985 dalam Rahmawaty, 2002), intensitas gangguan ekosistem dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
1. Ringan, apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu, sebagai contoh jika sebatang pohon besar mati atau kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak, atau penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati,
2. Menengah, apabila struktur hutannya rusak berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, misalnya penebangan hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya.
3. Berat, apabila struktur hutan rusak berat/hancur dan produkfitas tanahnya menurun, contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi, penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan, termasuk dalam hal ini akibat kegiatan pertambangan
Menurut Kusnotodan Kusumodirdjo (1995), dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara lain berupa :
1.  Penurunan produktivitas tanah
2. Pemadatan tanah
3. Terjadinya erosi dan sedimentasi
4. Terjadinya gerakan tanah dan longsoran
5. Terganggunya flora dan fauna
6. Terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk
7. Perubahan iklim mikro
Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Di samping itu, juga dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam.
3.2              Reklamasi Lahan Bekas Pertambangan
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
Salah satu kegiatan pengakhiran tambang, yaitu reklamasi yang merupakan upaya penataan kembali daerah bekas tambang agar bisa menjadi daerah bermanfaat dan berdayaguna. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal. Sebuah lahan atau gunung yang dikupas untuk diambil isinya hingga kedalaman ratusan meter bahkan sampai seribu meter, walaupun sistem gali timbun (back filling) diterapkan tetap akan meninggalkan lubang besar seperti danau (Herlina, 2004. Melongok Aktivitas Pertambangan Batu Bara Di Tabalong, Reklamasi 100 Persen Mustahil. Banjarmasin Post, Banjarmasin).
Reklamasi bekas tambang yang selanjutnya disebut reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.(Riwan Kusmiadi, S.TP, Reklamasi Revitalisasi Kerusakan Lingkungan Lahan Bekas Tambang Provinsi Babel Pulau Bangka Belitung)
Reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki lahan pasca penambangan. Reklamasi adalah kegiatan pengelolaan tanah yang mencakup perbaikan kondisi fisik tanah overburden agar tidak terjadi longsor, pembuatan waduk untuk perbaikan kualitas air masam tambang yang beracun, yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan revegetasi. Revegetasi sendiri bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik, kimia dan biologis tanah tersebut. Namun upaya perbaikan dengan cara ini masih dirasakan kurang efektif, hal ini karena tanaman secara umum kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan ekstrim, termasuk bekas lahan tambang (Dindin H Mursyidin, S.Si, Memperbaiki Lahan Bekas Tambang dengan Mikroorganisme).
Reklamasi maupun penghijauan kembali (revegetasi) lahan terganggu ketika tidak lagi digunakan untuk kegiatan pertambangan.(PT. Freeport Indonesia.com, Reklamasi dan Penghijauan Kembali)
Reklamasi adalah satu operasi yang mempersiapkan lahan bekas tambang atau lahan terbuka, untuk penggunaan selanjutnya setelah pasca tambang. Reklamasi juga meliputi langkah-langkah menstabilkan lahan bekas tambang dalam pengertian lingkungan. Jadi reklamasi adalah bagian integral dari rencana total penambangan, yang berarti reklamasi bukan suatu langkan terpisah yang melengkapi penambangan, tetapi suatu operasi terpadu yang dimulai dengan rencana awal, dilanjutkan dengan tahap ekstrasi sampai penggunaan lahan baru setelah pasca penambangan. Tujuan akhir dari rencana reklamasi adalah untuk meyakinkan bahwa lahan bekas tambang dikembalikan pada penggunaan yang produktif (Kartosudjono, 1994). Salah satu tujuan utama reklamasi adalah pemulihan lahan yang terganggu. Perencanaan reklamasi perlu dikaitkan dengan rencana tata guna lahan.
Pada pasca tambang, kegiatan yang utama dalam merehabalitisai lahan yaitu mengupayakan agar menjadi ekosistem yang berfungsi optimal atau menjadi ekosistem yang lebih baik. Reklamasi lahan dilakukan dengan mengurug kembali lubang tambang serta melapisinya dengan tanah pucuk, dan revegetasi lahan serta diikuti dengan pengaturan drainase dan penanganan/pencegahan air asam tambang
Parotta (1993) dalam Latifa (2000), menyatakan bahwa reklamasi dengan spesies-spesies pohon dan tumbuhan bawah yang terpilih dapat memberikan peranan penting dalam mereklamasi hutan tropika. Dalam studi ini kawasan reklamasi yang memiliki skala besar atau yang mengalami perubahan bentang alam secara signifikan perlu disusun rencana detail tata ruang (RDTR) kawasan. Penyusunan RDTR kawasan reklamasi ini dapat dilakukan bila sudah memenuhi persyaratan administratif berikut:
1.      Memiliki RTRW yang sudah ditetapkan dengan Perda yang mendeliniasi
kawasan reklamasi
2.      Lokasi reklamasi sudah ditetapkan dengan SK Bupati/Walikota, baik yang
akan direklamasi maupun yang sudah direklamasi
3.      Sudah ada studi kelayakan tentang pengembangan kawasan reklamasi
atau kajian/kelayakan properti (studi investasi);
4.      Sudah ada studi AMDAL kawasan maupun regional.
Tata ruang kawasan reklamasi harus memperhatikan beberapa aspek seperti aspek sosial, aspek ekonomi, aspek pergerakan, aspek aksesbilitas, dan aspek transportasi.
Komponen-komponen biaya reklamasi terdiri dari :
1.      Biaya Langsung meliputi :
a.       Biaya pembongkaran fasilitas tambang (bangunan, jalan, emplaseman), kecuali ada persetujuan dari instansi yang berwenang bahwa fasilitas tersebut akan digunakan pemerintah.
b.      Biaya penataan kegunaan lahan
c.       Biaya reklamasi
d.      Biaya pencegahan dan penanggulangan air asam tambang
e.       Biaya untuk pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tambang
2.      Biaya Tidak Langsung meliputi :
a.       Biaya mobilisasi dan Demobilisasi alat-alat berat
b.      Biaya perencanaan reklamasi
c.       Biaya administrasi dan keuntungan kontraktor/pihak ketiga pelaksana reklamasi
3.      Penentuan lokasi lahan bekas tambang
a.       Identifikasi lokasi lahan bekas tambang
b.      Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang
c.       Peruntukan Lahan Bekas Tambang untuk Reklamasi (Revegetasi / Penghijauan) 
Kebijakan Reklamasi Diatur dalam : 
1.      Permen  ESDM No. 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang
2.      Undang – undang RI No. 4 Tahun Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Bijih Mangan
3.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 78  Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca tambang
Karakterisitik dari reklamasi disesuaikan dengan karakteristik geologi (stratigrafi, struktur dan litologi).
Permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi :
1.      Pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan kembali lahan bekas tambang serta penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian kembali.
2.      Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan permukaan timbunan, pengendalian erosi dan pengelolaan air.
3.      Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan revegetasi.
4.      Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, potensi terjadinya AAT dari bukaan tambang yang terlantar, pengelolaan tailing dan timbunan limbah batuan (sebagai akibat oksidasi sulfida yang terdapat dalam bijih atau limbah batuan).
Kegiatan reklamasi harus melibatkan masyarakat. Reklamasi harus dapat menyentuh masyarakat dari sisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik yang berkembang di masyarakat. Kegiatan reklamasi yang tidak memperhatikan aspek sosial masyarakat, melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan kepedulian dari masyarakat tentunya akan mendatang kegagalan.
Reklamasi lahan bekas tambang juga membutuhkan dukungan politik yang luar biasa dari seluruh komponen, komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mengatur kegiatan penambangan dan tindakan yang tegas bila terdapat pelanggaran, dan menjadikannya skala prioritas akan dapat membantu dalam keberhasilan kegiatan reklamasi ini.
Teknik rehabilitasi meliputi penaman kembali permukaan tanah yang tergradasi, penampungan dan pengelolaan racun dan air asam tambang (AAT) dengan menggunakan penghalang fisik maupun tumbuhan untuk mencegah erosi atau terbentuknya AAT. Permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi :
1.      Pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan kembali lahan bekas tambang serta penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian kembali.
2.      Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan permukaan timbunan, pengendalian erosi dan pengelolaan air.
3.      Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3 dan bahaya radiasi.
4.      Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan revegetasi.
5.      Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, potensi terjadinya AAT dari bukaan tambang yang terlantar, pengelolaan tailing dan timbunan limbah batuan (sebagai akibat oksidasi sulfida yang terdapat dalam bijih atau limbah batuan.
3.3              Usaha Reklamasi Secara Agronomis
Usaha-usaha yang dilakukan dalam pencegahan dan pemulihan lahan bekas tambang atau tanah kritis saat ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu secara agronomis dan secara teknik fisik. Secara agronomis meliputi:
1.      Penanaman menurut kontur (Contour farming)
2.      Penanaman pagar hidup mengikuti kontur (Contour hedge)
3.      Penghijauan areal kosong (Aerial showing)
Penanaman menurut kontur yaitu penanaman tanaman menurut kontur atau bentuk topografi dari lahan bekas tambang, dengan di tanami oleh tanaman pagar hidup seperti tanaman jarak. Sesuai dengan sifat tanaman jarak yang dapat tumbuh di semua jenis tanah, tetapi yang baik adalah tanah ringan, lempung berpasir dengan aerasi baik, pH tanah 5 - 6,5 dan iklim kering. Tanaman tidak tahan terhadap air yang menggenang dan kadar air tinggi. Dan sifat ini, beberapa ·kemungkinan untuk reklamasi lahan bekas pertambangan mangan menjadi kecil, karena relatif komponen utama tailing adalah pasir. Tailing perlu dicampur dengan pupuk organik (sektiar 10%) agar bisa ditanami tanaman lain, termasuk jarak.
Dengan alternatif penanaman jarak pagar ini akan membuka peluang pemanfaatan tanah atau lahan pasca tambang. Produk biji jarak akan dipanen dan diekstrak minyaknya untuk keperluan diesel. Dengan demikian, produk biji dan minyak jarak ini bukan merupakan bahan pangan atau pakan yang dikhawatirkan akan ada residu bahan berbahaya dan minyak bumi.
Untuk penghijauan lahan bekas tambang maka di adakan kegiatan revegetasi atau perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza.
Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.
Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan).
3.4              Usaha Reklamasi Secara Teknik
Usaha-usaha yang dilakukan dalam pencegahan dan pemulihan lahan bekas tambang atau tanah kritis saat ini selain usaha agronomis juga ada usaha secara teknik. Usaha-usaha secara teknik meliputi:
1.      Pembuatan teras dan sengkedan
2.      Pembuatan tanggul mengikuti garis kontur
3.      Pembuatan saluran pelepas air
Usaha pembuatan teras dan sengkedan dimaksudkan untuk sistem irigasi yang akan dilakukan di lokasi lahan bekas tambang, dari pembuatan teras dan sengkedan ini maka dibuat tanggul yang mengikuti garis kontur berdasarkan kondisi fisik yang ada di lokasi lahan bekas tambang. Pembuatan tanggul ini digunakan untuk sistem irigasi apabila pemanfaatan lahan bekas tambang adalah untuk kawasan pertanian, dari kegiatan ini maka selanjutnya adalah pembuatan saluran pelepas air atau drainase untuk mencegah terjadinya banjir di lokasi lahan bekas tambang.
3.5              Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang
Penataan lahan bekas tambang disesuaikan dengan penetapan tata ruang wilayah bekas tambang. Lahan bekas tambang dapat difungsikan menjadi kawasan lindung ataupun budidaya. Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hokum            agraria.
Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:
1.      Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.
2.      Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.
3.      Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:
1.      Adanya serangkaian kegiatan.Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya.
2.      Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.
3.      Adanya tujuan yang hendak dicapai. Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangkan pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.
Salah satu kegiatan budidaya yang dapat dikembangkan di lokasi lahan bekas tambang salah satunya adalah pertanian. A.T Mosher (1968;19) mengartikan, pertanian adalah sejenis proses produksi khas yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Kegiatan-kegiatan produksi didalam setiap usaha tani merupakan suatu bagian usaha, dimana biaya dan penerimaan adalah penting.
Tumbuhan merupakan pabrik pertanian yang primer. Ia mengambil gas karbondioksida dari udara melalui daunnya. Diambilnya air dan hara kimia dari dalam tanah melalui akarnya. Dari bahan-bahan ini, dengan menggunakan sinar matahari, ia membuat biji, buah, serat dan minyak yang dapat digunakan oleh manusia.
A.T Mosher telah menganalisa syarat-syarat pembangunan pertanian di banyak negara dan menggolong-golongkannya menjadi syarat-syarat mutlak dan syarat-syarat pelancar. Terdapat lima syarat yang tidak boleh tidak harus ada untuk adanya pembangunan pertanian. Kalau satu saja syarat-syarat tersebut tidak ada, maka terhentilah pembangunan pertanian, pertanian dapat berjalan terus tetapi sifatnya statis.(Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim, dan Dyah R. Panuju, 2011, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi kedua, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor).
Syarat-syarat mutlak yang harus ada dalam pembangunan pertanian (A.T Mosher, 1965;77) adalah :
1.   Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani.
2.   Teknologi yang senantiasa berkembang.
3.   Tesedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal.
4.   Adanya perangsang produksi bagi petani
5.   Tersedianya perangkutan yang lancar dan kontinyu.
3.6              Teori Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu, sebagai contoh lahan untuk irigasi, tambak, pertanian tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim. Kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase yang sesuai untuk usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif.
Kesesuaian lahan didasarkan atas kriteria penggunaan lahan menurut SK MENTAN No. 837/KPTS/UM/II 1980 dan No. 683/KPTS/UM/II/1981. Berdasarkan SK tersebut, penggunaan lahan dibagi menjadi 5 kawasan peruntukan, yaitu :
  1. Kawasan Lindung
  2. Kawasan Penyangga
  3. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
  4. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim
5.      Kawasan Permukiman
            Dengan menjumlahkan skor ketiga faktor tersebut maka dapat ditetapkan penggunaan lahan pada setiap kawasan adalah sebagai berikut :
1.      Kawasan Lindung
Areal dengan jumlah nilai skor untuk kemampuan lahan sama dengan atau lebih dari 175. atau memenuhi salah satu atau beberapa syarat berikut :
a.    Mempunyai lereng lapang > 45 %;
b.   Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah Regosol, Litosol, Organosol, dan Renzine dengan lereng > 45 %;
c.    Merupakan jalur pengaman aliran sungai/air sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai/aliran air tersebut;
d.   Mempunyai ketinggian 2000 meter di atas permukaan air laut;
e.    Guna keperluan/kepentingan khusus dan diterapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung.
2.      Kawasan Penyangga
Areal dengan jumlah nilai skor untuk kemampuan lahannya 124 – 174 dan atau memnuhi beberap kriteria umum, sebagai berikut :
a.    Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara ekonomis;
b.   Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga;
c.    Tidak merugikan segi-segi ekologi lingkungan.
  1. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Areal dengan jumlah nilai skor untuk kemampuan lahannya 124 ke bawah serta cocok atau seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman tahunan (kayu-kayuan, tanaman perkebunan dan tanaman industri). Disamping itu areal tersebut harus memenuhi kriteria umum untuk kawasan penyangga.
  1.  Kawasan Budidaya Tanaman Semusim Setahun
Areal dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman tahunan akan tetapi areal tersebut cocok atau seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman semusim/setahun.
  1. Kawasan Permukiman
Areal yang memenuhi kriteria budidaya cocok untuk areal permukiman serta secara mikro mempunyai kelerengan 0 – 8 %. 
Maksud kesesuaian lahan adalah kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan skor yang telah ditentukan / standar untuk mengetahui bentang alam yang digunakan sebagai kawasan budidaya maupun kawasan non budidaya.
Parameter yang digunakan untuk kesesuaian lahan ini adalah :
1.      Intensitas curah hujan
Merupakan rata-rata curah hujan dalam mm setahun di suatu tempat dibagi dengan rata-rata jumlah hari hujan setahun di tempat bersangkutan. Untuk nilai skor untuk curah hujan sebagai berikut :
a.    Kelas I (sangat rendah) : intensitas curah hujannya  0 - 13.6 mm / hari.
b.   Kelas II (rendah) : intensitas curah hujannya  13.6 - 20,7 mm / hari.
c.    Kelas III (sedang) : intensitas curah hujannya  20,7 - 22,7 mm / hari.
d.   Kelas IV (tinggi) : intensitas curah hujannya  22,7 - 34,8 mm / hari.
e.    Kelas V (sangat tinggi) : intensitas curah hujannya  > 34,8 mm / hari.
2.      Kelerengan meliputi :
a.    Kelerengan kelas I (datar) : 0 - 8 %
b.   Kelerengan kelas II (landai) : 8 - 15 %
c.    Kelerengan kelas III (agak curam) : 15 - 25 %
d.   Kelerengan kelas IV (curam) : 25 - 45 %
e.    Kelerengan kelas V (sangat curam) : > 45
3.      Kepekaan terhadap erosi
a.    Kelas I (rendah / tidak peka) : alluvial, tanah glei, planosol, hidromorf kelabu dan laterit air tanah.
b.   Kelas II (sedang / agak peka) : latosol
c.    Kelas III (tinggi / kurang peka) : kambisol, mediteran, tanah brown forest, non calcic brown.
d.   Kelas IV (sangat tinggi / peka) : Vertisol, andosol, grumosol, laterit, podsol dan podsolik.
e.    Kelas V (amat sangat tinggi / sangat peka)litosol, organosol, rendzina, regosol.
Untuk menetapkan kawasan hutan lindung dalam suatu wilayah maka nilai dari tiap parameter tersebut dijumlahkan, setelah masing-masing dikalikan dengan nilai timbangan yang sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap erosi. Adapun nilai timbangan tersebut adalah :
1.      Kelerengan = 20
2.      Jenis Tanah (kepekaan terhadap erosi) = 15
3.      Intensitas curah hujan = 10
Setelah dijumlahkan maka akan memperoleh hasil sebagai berikut :
1.      Nilai skor 0 - 75, merupakan kawasan budidaya tanaman semusim / pemukiman.
2.      Nilai skor 76 - 124, merupakan kawasan hutan produksi atau hutan konversi serta merupakan kawasan budidaya tanaman tahunan.
3.      Nilai skor 125 - 174, merupakan kawasan hutan produksi terbatas dan kawasan penyangga.
4.      Nilai skor lebih besar atau sama dengan 175, merupakan kawasan lindung.[1]
Untuk klasifikasi sifat-sifat daerah aliran yang mempengaruhi limpasan permukaan dengan hubungan dengan kerengan dikutip dari enginering Hand Book for farm Planners (dalam hudson,1981) menyatakan bahwa :
1.      Kelerengan rata-rata diatas 30 %, untuik daerah sifat aliran permukaannya sangat tinggi.
2.      Kelerengan rata-rata 10-30 % (berbukit), untuk daerah sifat aliran  permukaannya tinggi.
3.      Kelerengan rata-rata 5-10 % ( bergelombang), untuk daerah sifat aliran  permukaannya normal.
4.      Untuk lereng tang relatif datar (0-5%), pada daerah ini sifat aliran permukaannya rendah.[2]
3.7              Kebijakan Nasional Dalam Penatagunaan Tanah
Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan. Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timgul dalam bidang pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi.
Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No.7 Tahun 1979, meliputi:
1.      Tertib Hukum Pertanahan Diarahkan pada program:
1.      Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
2.      Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan.
3.      Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
4.      Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan hokum agraria.
a.       Tertib Administrasi Pertanahan Diarahkan pada program:
1.      Mempercepat proses pelayanan yang menyangkuturusanpertanahan.
2.      Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah bagi kegiatan-kegiatanpembangunan. Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah negara.
3.      Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria maupun di kantor PPAT.
4.      Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.
Kebijakan pembangunan Kabupaten Belu terjabar dalam RPJP Kabupaten Belu, RPJM Kabupaten Belu dan RTRW Kabupaten Belu.
Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Belu menjabarkan tentang visi-misi Kabupaten Belu.
Berdasarkan kondisi Kabupaten Belu saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang dan mempeerhitungkan modal dasar yang dimiliki maka visi pembangunan Kabupaten Belu berdasarkan RPJP tahun 2005-2025 adalah : “Belu Sebagai Kabupaten Perbatasan yang maju, mandiri, adil dan sejahtera 2025”.
Visi pembangunan Kabupaten Belu tahun 2005-2025 ini mengarah pada tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Visi pembangunan daerah tersebut harus dapat diukur untuk mengetahui tingkat kehidupan masyarakat Belu agar bisa dikatakan adil, maju, sejahtera dan mandiri.
Adil mempunyai arti memberi dan menerima dengan tepat sesuai kadarnya atau proporsinya. Sedangkan merata artinya kondisi masyarakat yang terpenuhi segala kebutuhan lahir dan batin merata di seluruh wilayah, lapisan dan golongan masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dilandasi Visi Belu sebagai kabupaten yang sejahtera, adil, maju dan mandiri, tidak ada artinya tanpa keterlibatan yang sinergis antara stakeholder, masyarakat umum,  pihak – pihak yang terkait.
Oleh sebab itu, pembangunan di bidang perekonomian harus maju, diukur berdasarkan indikator ekonomi, yaitu :
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah Kabupaten Belu memprioritaskan pembangunan pada beberapa sektor berikut :
1.      Sektor Pertanian, untuk meningkatkan nilai tambah perlu dilakukan revitalisasi pertanian, perkebunan dan perikanan.
2.      Sektor Pariwisata, meningkatkan peran pariwisata sebagai sektor andalan yang akan mampu menggalakkan ekonomi termasuk kegiatan sektor lainnya yang terkait, sehingga dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan.
3.      Sektor Industri, pembangunan sektor industri terutama agroindustri, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Pengembangan industri di daerah diharapkan tumbuh dan berkembang industri – industri yang berbasis pada bahan baku  produk pertanian, perkebunan, dan perikanan yang ada di daerah dengan tetap menjaga kelanjutan pembangunan.  
Selain diukur berdasarkan indikator ekonomi tingkat kesejahteraan suatu daerah juga diukur berdasarkan berbagai indikator sosial yang pada umumnya berkaitan dengan sumber daya manusianya (SDM). Berbagai perbaikan indikator SDM, antara lain:
Selain memiliki indikator sosial ekonomi yang lebih baik, daerah yang maju juga telah memiliki sistem dan kelembagaan politik yang termasuk semakin optimalnya peran institusi hukum serta semakin efektifnya pelaksanaan prinsip – prinsip Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
B.         Misi Pembangunan
Dalam mewujudkan visi pembangunan Kabupaten Belu tersebut ditempuh melalui tujuh (7). Misi Pembangunan Kabupaten Belu sebagai berikut :
1.      Mewujudkan masyarakat Belu yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, dan berbudaya berdasarkan falsafah pancasila,
2.      Mewujudkan masyarakat Belu yang berkualitas dan berdaya saing,
3.      Mewujudkan perekonomian daerah yang kokoh,
4.      Mewujudkan masyarakat Belu yang demokratis berlandaskan hukum,
5.      Mewujudkan aparatur Pemerintah yang bersih dan berwibawa,
6.      Mewujudkan Kabupaten Belu sebagai wilayah berkeseimbangan lingkungan yang berwawasan tata ruang,
7.      Mewujudkan Kabupaten Belu sebagai wilayah perbatasan yang aman, nyaman, produktif, dan berkembang yang didukung infrastruktur wilayah yang memadai.
Dalam  rangka melanjutkan estafet kepemimpinan dan estafet pembangunan serta untuk mengatasi permasalahan yang dihadapai masyarakat maka dirumuskanlah Visi dan Misi Kabupaten Belu sebagai representasi dari dari Visi dan Misi Bupati terpilih dan gambaran cita- cita serta harapan masyarakat yang ingin diwujudkan dalam lima tahun ke depan.
Pemerintahan yang bersih dan akuntable menggambarkan bahwa setiap unsur aparatur pemerintah menyadari terhadap tugas dan kewajibannya sebagai pelayan masyarakat sehingga tertanam dalam diri pribadi masing – masing untuk bertindak jujur, bertanggung jawab dengan memberikan pelayanan yang profesional sehingga memberikan kepuasan kepada stake holders. Aspiratif., partisipatif dan transparan mempunyai makna bahwa pemerintah peka terhadap keinginan masyarakat dan proses penyusunan kebijakan serta perencanaan pembangunan dilaksanakan melalui proses yang demokratis diikuti penyelenggaraan dan pertanggungjawaban pemerintah yang transparan.
Penjelasan :
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dalam arti luas di antaranya adalah terpenuhinya rasa aman, damai, tentram dalam kehidupan masyarakat serta tumbuhnya rasa toleransi, saling menghargai dan menjaga kerukunan antar kelompok masyarakat. Misi ini merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut melalui kegiatan fasilitasi, pembinaan, penertiban, dan pemberian bantuan terhadap kegiatan yang bertujuan meningkatkan ketertiban, keamanan, dan kerukunan antar kelompok masyarakat.
3.8.3        RTRW Kabupaten Belu
Penyusunan RTRW Kabupaten Belu pada dasarnya mengacu pada peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya RTRWK ini akan ditetapkan menjadi peraturan daerah dengan mengacu pada Peraturan Menteri PU Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota beserta Rencana-Rencana rincinya. Sesuai dengan fungsi dan kegunaan serta kedudukannya maka Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dipergunakan sebagai acuan bagi penyusunan rencana dan program-program pembangunan daerah baik untuk jangka waktu tahunan, lima tahunan maupun program-program jangka panjang . Program-program yang disusun dalam RTRW ini pada dasarnya masih bersifat indikatif, yang diharapkan akan dapat memberikan indikasi bagi penyusunan program pembangunan untuk masing-masing sektor. Secara umum sektor yang akan diindikasikan program pembangunannya adalah sektor yang langsung memanfaatkan ruang sebagai implikasi dari RTRW yang telah disusun ini yaitu sektor pertanian, perdagangan, industri, pengembangan dunia usaha, perhubungan, energi, pariwisata dan telekomunikasi, lingkungan hidup serta perumahan dan permukiman, beserta lokasi realisasi program dalam kurun waktu tertentu, instansi pengelola, dan kemungkinan untuk memperoleh sumber dana.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa :
  1. Program penghijauan atau penghutanan kembali merupakan program utama yang menjadi sebuah keharusan jika ingin mengubah Kabupaten Belu menjadi lebih maju, sejahtera dan berkembang, karena ketersediaan air menjadi kunci pembangunan. Oleh karenanya pelaksanaan program penghijauan tidak hanya berhenti pada akhir tahun perencanaan tetapi terus dilakukan dalam jangka panjang.
  2. Penghijauan yang berhasil di Kabupaten Belu berimplikasi pada perbaikan kondisi iklim mikro, yang ditandai dengan perbaikan kondisi kesuburan dan kelembaban  tanah serta ketersedaan air secara memadai. Ketersediaan air dan kesuburan yang memadai memungkinkan Kabupaten Belu mengembangkan sektor pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, pariwisata, dan sektor umum lainnya secara simultan.
  3. Sektor perikanan laut yang saat ini belum dikelola secara baik  dan optimum merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial. Untuk mengimplementasikannya tidak membutuhkan dana yang besar dan waktu yang  terlalu lama. Sektor perikanan laut dapat diandalkan menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah yang dapat digunakan untuk mendanai kebutuhan pembangunan.
Berdasarkan RTRW Kabupaten Belu, lokasi studi yaitu Kecamaatan Tasifeto Barat termasuk dalam wilayah Pusat Kegiatan Lokal (PKL), yang berfungsi dan diarahkan untuk melayani kecamatan hasil pemekaran dan desa-desa potensial di Kecamatan Tasifeto Barat, selain itu sebagian wilayah di Kecamatan Tasifeto Barat merupakan salah satu kawasan hutan lindung, sehingga pemanfaatan lahan diluar kawasan lindung diarahkan untuk :
1.      Kawasan budidaya lahan kering
2.      Kawasan budidaya tanaman tahunan
3.      Kawasan budidaya padang rumput untuk penggembalaan ternak
4.      Pengembangan kawasan agropolitan tanaman sayur dan buah-buahan
3.9       Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
Peran serta masyarakat dalam penataan ruang dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu :
  1. Tahap Perencanaan, masyarakatlah yang paling memahami apa yang mereka butuhkan, dengan demikian mengarahkan pada produk rencana tata ruang yang optimal dan proporsional untuk berbagai kegiatan, sehingga terhindar dari spekulasi dan distribusi alokasi ruang yang berlebihan untuk suatu kegiatan.
  2. Tahap Pemanfaatan, masyarakat akan menjaga pendayagunaan ruang yang sesuai dengan peruntukan dan alokasi serta waktu yang direncanakan, sehingga terhindar dari konflik pemanfaatan ruang.
  3. Tahap Pengendalian, masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab dalam menjaga kualitas ruang yang nyaman dan serasi serta berguna untuk kelanjutan pembangunan. (Ir. Mulyono Sadyohutomo, MCRP, 2009, Diktat Kuliah Perencanaan Perdesaan
3.10          Variabel – variabel dan Tolok Ukur Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang
3.10.1    Identifikasi  Lokasi Lahan Bekas Tambang
Identifikasi lokasi lahan bekas tambang adalah untuk mengetahui lokasi lahan yang sesuai untuk revegetasi (penghijauan) peruntukan lahan sebagai kawasan hutan lindung di lokasi  lahan bekas penambangan selanjutnya dilakukan suatu survey tanah untuk memprediksi lebih banyak serta lebih teliti untuk selanjutnya melakukan pengolahan lahan.
1.      Variabel dan Tolok Ukur Identifikasi Lokasi Lahan Bekas Tambang
a.       Kondisi Fisik Lokasi
q  Kondisi Topografi : Kelerengan 40 – 45% (berbukit-bukit sampai bergunung), Kedalaman Galian 50 – 60 meter. Kemiringan lereng : Datar 0 – 8 %, Curam : 25 – 45 % 
q  Tanah : tekstur tanah, kedalaman efektif tanah, jenis tanah.
q  Hidrologi : drainase
q  Klimatologi : jumlah bulan kering, curah hujan.
b.      Aksesbilitas dan Transportasi
q  Jarak lokasi dengan kota Atambua : ± 15 Km
q  Jarak lokasi dengan pasar dan terminal kota : ± 8 Km
q  Jalan raya yang sering dilewati oleh ojek, karena jalur angkutan kota belum ada
q  Jumlah sarana dan prasarana di lokasi lahan bekas tambang
3.10.2    Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang
Pemanfaatan lahan bekas tambang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pemanfaatan untuk lahan bekas tambang adalah untuk revegetasi (penghijauan) kembali dengan ditutup (back filing).
1.      Variabel dan Tolok Ukur Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang
a.       Kesiapan Masyarakat
q  Tahu : apa masyarakat tahu tentang kondisi dari lokasi lahan bekas tambang
q  Mau : apa masyarakat mau turut serta dalam pemanfaatan lahan bekas tambang
q  Mampu : apa masyarakat mampu dalam menjaga dan memelihara pemanfaatan lahan bekas tambang
b.   Kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar lokasi bekas pertambangan
q  Jumlah penduduk
q  Kepadatan penduduk
q  Jumlah Kepala Keluarga (KK)
q  Tingkat pendidikan
q  Mata pencaharian
q  Jumlah sarana dan prasarana
q  Jumlah tenaga kerja
c.       Peran Pemerintah
q  Data – data
q  Kebijakan yang sesuai dengan lokasi studi
Dari referensi tersebut diatas, maka kesimpulan yang diambil adalah lahan bekas tambang adalah lahan bekas galian pertambangan dengan meninggalkan lubang-lubang besar di permukaan tanah, sedangkan pengertian reklamasi adalah upaya memperbaiki kembali lahan bekas tambang walaupun tidak seperti kondisi semula dengan cara dilakukan kegiatan revegetasi (penghijauan) kembali guna kegiatan yang lebih ekonomis terhadap masyarakat sekitar dan penambahan pendapatan daerah. Pemanfaatan lahan adalah suatu upaya dalam memanfaatkan kembali lahan untuk suatu tujuan perencanaan yang sesuai dengan kondisi lokasi  sesuai dengan tata ruang.
4.1              Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan alat untuk membantu suatu materi agar dapat mencapai tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan. Pada  bab ini menguraikan metodologi penelitian yang berkenaan dengan cara dan metode yang digunakan pada penyusunan laporan penelitian ini. Adapun metodologi tersebut yang akan digunakan antara lain :
4.2              Metode Pengumpulan Data
Dalam metode ini terdiri dari survei primer dan survei sekunder untuk memperoleh data-data dasar yang dibutuhkan.
4.2.1        Survey Primer
Survei primer merupakan langkah dalam memperoleh data-data di lapangan, baik berupa data fisik maupun data non fisik. Adapun cara memperoleh datanya yaitu :
  1. Metode Observasi
Metode observasi adalah proses pencatatan pola perilaku subjek (orang), objek (benda) atau kejadian-kejadian tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti (Silalahi, 2003:82). Pengumpulan data melalui observasi langsung sangat diperlukan, karena melalui observasi ini peneliti dapat mengetahui kondisi fisik lahan bekas tambang, potensi yang ada di lokasi lahan bekas tambang, dan masyarakat sekitar lokasi lahan bekas tambang. Data – data yang dibutuhkan untuk metode observasi seperti melihat langsung kondisi keadaan lahan bekas tambang,seperti peta-peta lokasi lahan bekas tambang, jenis tanah, kelerengan, batas lokasi lahan bekas tambang, luas dan kedalaman galian lokasi lahan bekas tambang, sarana dan prasarana yang ada disekitar lokasi lahan bekas tambang, aksesbilitas dan transportasi yang ada disekitar lokasi lahan bekas tambang.
  1. Metode Wawancara
Selain metode observasi, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan survey primer dimana terdiri menggunakan teknik wawancara.  Interview adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi (interviewer atau information hunter) dengan sumber informasi (interviewee) (Hadari Nawawi, 1995: 124). Dalam penelitian ini wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas, yaitu pewawancara bebas menanyakan apa saja, yang terkait dengan data-data mengenai kondisi fisik lahan bekas tambang, potensi apa saja yang ada di lokasi bekas tambang, mata pencaharian masyarakat sekitar lokasi lahan bekas tambang.
Dalam metode wawancara ini, akan dilakukan wawancara terhadap pimpinan instansi – instansi pemerintahan, antara lain Dinas Pertambangan dan Energi, BAPPEDA dan BAPEDALDA barkaitan dengan pertambangan mangan, potensi yang ada dan kondisi lingkungan lokasi lahan bekas tambang. Data – data yang dibutuhkan untuk metode wawancara seperti interview langsung dengan penduduk sekitar lokasi lahan bekas tambang, interview dengan pengelola perusahaan tambang batu mangan, interview dengan kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belu.
4.2.2        Survey Sekunder
Survey Sekunder (Library Research) merupakan kajian teoritis dari pustaka atau pencarian data untuk mendukung survey primer. Data yang diperoleh biasanya berasal dari instansi terkait antara lain : Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Pusat Statistik (BPS), BAPPEDA, Dinas BAPEDALDA. Data – data yang dibutuhkan untuk metode survey sekunder seperti profil perusahaan tambang batu mangan, RTRW Kabupaten Belu, Analisis Dampak terhadap Lingkungan, profil Desa Tukuneno, potensi – potensi tambang mangan di Kabupaten Belu.
4.2.3        Metode Analisa
Metode analisa yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kesesuaian lahan untuk mengetahui analisis apa saja yang digunakan untuk pemanfaatan lahan bekas tambang di Desa Tukuneno, Kabupaten Belu.
4.2.3.1     Teknik Analisa Data
1.      Analisa Kesesuaian Lahan
Analisa fungsi kawasan dapat berupa kondisi topografi, penggunaan lahan, dan sebagainya, untuk mendapatkan suatu klasifikasi peruntukan lahan yang sesuai. Hasil analisa ini adalah sebuah pola pemanfaatan ruang yang sesuai dengan perencanaan. Analisa fungsi kawasan yang digunakan adalah berdasarkan SK Mentan. Faktor pembatas yang digunakan untuk klasifikasi ini adalah :
a.    Kemiringan Lereng (dinyatakan dalan satuan persen) :
*      Kelas I      =    0 – 8 %         (Datar)                   Nilai Skor 20
*      Kelas II          =             8 – 15 %                                  (Landai)           Nilai Skor 40
*      Kelas III   =    15 – 25 %     (Agak Curam)        Nilai Skor 60
*      Kelas IV   =    25 – 45 %     (Curam)                 Nilai Skor 80
*      Kelas V    =    > 45 %          (Sangat curam)       Nilai Skor 100
b.   Faktor jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi :
*      Kelas I    =         Aluvial, tanah Glei,                  Nilai Skor 15
                                                Planosol, Hidromorf Kelabu,
                                                Laterik Air Tanah (Tidak peka)
*      Kelas II    =       Latosol (Agak peka)                Nilai Skor 30
*      Kelas III   =       Brown Forest Soil,                   Nilai Skor 45
Non Caleic Brown, Mediteran (Agak peka).   
*      Kelas IV   =       Andosol Laterek, Grumosol,    Nilai Skor 60
                                                Podsoil, Podsolic (Peka)       
*      Kelas V    =       Regosol, Litosol, Atnogosol,    Nilai Skor 75
                                                Renzine (Sangat Peka)          
c.    Faktor Intensitas Hujan Harian :
*      Kelas I      =       s/d 13,6 mm/hari                    (sangat rendah) Nilai Skor 10
*      Kelas II    =       13,6 – 20,7 mm/hari        (rendah) Nilai Skor 20
*      Kelas III   =       20,7 – 27,7 mm/hari        (sedang) Nilai Skor 30
*      Kelas IV   =       27,7 34,8 mm/hari           (tinggi) Nilai Skor 40
*      Kelas V    =       > 34,8 mm/hari                      (sangat tinggi) Nilai Skor 50
2.      Analisa Tabulasi
Analisis tabulasi silang merupakan suatu prosedur dalam uji statistik untuk melihat hubungan antar variabel, atau faktor sekaligus memperoleh besarnya derajat keterhubungan atau asosiasi antar variabel atau faktor yang diukur. Analisis tabulasi silang bermanfaat dalam menyelesaikan permasalahan analisis data. Manfaat utama yang dapat diperoleh dari analisis tabulasi silang, khususnya dalam perencanaan wilayah dan kota adalah :
a.    Membantu menyelesaikan penelitian yang berkaitan dengan penentuan hubungan antar variabel faktor yang diperoleh dari data kualitatif. Penentuan hubungan akan digunakan sebagai dasar untuk penentuan tindakan perencanaan yang tepat pada tahap selanjutnya.
b.   Bila telah didapat hubungan antar variabel/faktor keuntungan, kegunaan kedua adalah dapat menentukan besarnya derajat asosiasi anatar variabel/faktor tersebut. Tingkat keterkaitan ditunjukan dengan bilangan dari 0 sampai 1 yang menunjukan derajat keterkaitan rendah hingga sangat erat.
c.    Dapat menentukan variabel dependent (terikat) dan variabel independent (bebas) dari dua variabel yang dianalisis. Salah satu keluaran dari analisis tabulasi silang adalah penentuan variabel bebas dan variabel terikat yang ditunjukan oleh statistik lambda  atau  eta.
Untuk memasukan data dalam analisis tabulasi silang, yang harus dipahami pertama kali adalah jenis data dan kategori data. Data yang berhubungan dengan teknik pengukuran atau analisis dikelompokan menjadi 4 jenis data, yaitu :
a.    Data Nominal
b.   Data Ordinal
c.    Interval
d.   Rasio
Adapun tipe data yang digunakan dalam analisis tabulasi silang adalah tipe data kategori. Tipe data kategori ditunjukan dalam tiga tipe tabel yang berbeda yaitu :
a.    Tabel Kontingensi
Tabel kontingensi merupakan cara menunjukan variabel kategori yang mentabulasi-silangkan antara satu variabel kategori dengan variabel lainnya. Hasil tabulasi ditunjukan dengan tabel kontingensi.
Tabel 4.1
Tabel kontingensi 2 x 2
Menggunakan produk Y
Menggunakan produk X
Ya                       tidak
Total
Ya
 x1                                         x1
xtot     
Tidak
 x1                                          x1
xtot     
Total
xtot                                        xtot
Xxtot

b.   Tabel Ranking
Tipe contoh tabel ranking diperoleh dari pertanyaan N buah untuk n obyek. Tabel ranking juga dapat ditunjukan dalam bentuk lain yaitu object-by-rank.
Tabel 4.2
Tabel Rank Order Dan Rank Obyek
Obyek
Ranking
1
2
3
Total
A
n
n
n
N
B
n
n
n
N
C
n
n
n
N
Total
N
N
N
Ntot

c.    Tabel Multidimensi
Tabel kontingensi multi dimensi merupakan hasil tabulasi silang dari tiga atau lebih variabel kategori.
Dari berbagai jenis data tersebut diatas, analisis tabulasi silang merupakan analisis yang menggunakan masukan data dalam bentuk kategori. Oleh karena itu analisis tabulasi silang sering disebut juga analisis kategori data.
3.      Analisa Kualitatif
Analisa Kualitatif digunakan untuk peran pemerintah dalam pemanfaatan lahan bekas tambang mangan. Analisa kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Analisa kualitatif, lebih lanjut, mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir, oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat          praktis.
4.2.4        Jadwal Kegiatan Program
Kegiatan program dilakukan selama 5 bulan yang terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan penyusunan laporan. Tahap persiapan dilakukan pada bulan pertama selama 1 bulan. Sedangkan tahap pelaksanaan dalam hal ini melakukan survey dilaksanakan pada bulan kedua selama dua minggu dan pada minggu ke dua bulan 2 sampai bulan kelima dilakukan penyusunan laporan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut
Persiapan
Pelaksanaan
Survey
Penyusunan
Laporan
Bulan
1
Bulan
3
Bulan
2
Bulan
4
Bulan
5
 











Diagram 1
Jadwal Kegiatan

2.                  Rencana Biaya
Rencana biaya terdiri dari dari biaya transportasi, biaya penginapan, konsumsi dan  bahan habis pakai lainnya yang digunakan selama program dilaksanakan mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan dan penyusunan laporan.
Biaya transportasi
Travel Malang-Sby                                                : Rp.   70.000,-
Tiket Penerbangan Sby-Kupang                 : Rp.  830.000,-
Taxi bandara-penginapan di kupang                      : Rp.   50.000,-
Travel Kupang – Atambua                         : Rp.  120.000,-
Total Transport (PP)                                   : Rp 1.070.000 x 2 = Rp 2.140.000,-
      Biaya Penginapan (2 minggu)                  : Rp.   100.000 / hari x 14
                                                                        : Rp. 1.400.00,-
      Konsumsi (2 minggu)                               : Rp.    50.000/hari x 14
                                                                        : Rp. 700.000
     Bahan habis pakai
Kertas HVS A4 Gold 12 rim                      : Rp. 504.000,-
Tinta Print                                                  : Rp. 400.000,-
Bensin selama 2 Minggu                            : Rp.     5.000/hari x 14
                                                                : Rp.  70.000,-
Total Bahan Habis pakai                            : Rp. 974.000,-
Bahan Lain
GPS                                                           : Rp. 4.000.000,-
Printer Epson                                             : Rp.    565.000,-
Total Bahan Lain                                       : Rp. 4.565.000,-
  Total Biaya keseluruhan
(Transportasi + Penginapan + Konsumsi + Bahan Habis Pakai + Bahan Lain)
Total Transport (PP)                                   : Rp  2.140.000,-
Biaya Penginapan                                      : Rp. 1.400.00,-
Konsumsi (2minggu)                                 : Rp.    700.000,-
Total Bahan Habis pakai                            : Rp.     974.000,-
Total Bahan Lain                                       : Rp.  4.565.000,-
Total Biaya keseluruhan                            : Rp   9.779.000,-
3.      Lampiran
1)      Nama dan Biodata Mahasiswa
a.    Ketua Pelaksana Kegiatan
Nama Lengkap              : Maria Aprilia Selfia Manafe
NIM                              : 06.24.010
Fak/Program Studi         : FTSP/Teknik Planologi S-1
Perguruan Tinggi           : Institut Teknologi Nasional Malang
b.   Nama Anggota Pelaksana
Nama Lengkap              : Andi Hardianti Mustafa
NIM                              : 08.24.001
Fak/Program Studi         : FTSP/Teknik Planologi S-1
Perguruan Tinggi           : Institut Teknologi Nasional Malang
c.    Nama Anggota Pelaksana
Nama Lengkap              : Sinta Florensia Nahas
NIM                              : 08.24.007
Jurusan                          : Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Perguruan Tinggi           : Institut Teknologi Nasional Malang
2)      Nama dan Biodata Dosen Pendamping
Nama Lengkap                  : Ir. Agustina Nurul Hidayati, MT
NIP                                    : 1039000214
Jabatan Struktural              : Dosen
Fakultas/Program Studi      : FTSP/Teknik Planologi S-1
Perguruan Tinggi                : Institut Teknologi Nasional Malang
3)      Ruang Lingkup Lokasi Kegiatan
Ruang lingkup lokasi kajian dalam penelitian ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur Kabupaten Belu, Desa Tukuneno.
Adapun batas administratif Desa Tukuneno berdasar pemetaan dan pemasangan patok.
Batas-batas Desa Tukuneno sebagai berikut :
Sebelah Utara              : Desa Fatuketi
Sebelah Selatan            : Desa Naikasa
Sebelah Barat               : Kabupaten TTU
Sebelah Timur                         : Kecamatan Tasifeto Timur










Desa Tukuneno
Peta Administratif Kabupaten Belu


[1] Angkatan 1995, Land Use Planning Kabupaten Jember (Malang : Jurusan Planologi Institut  Teknologi Nasional , 1999), hal. I - 32   -   I - 34
[2] Utomo Wani Hadi,Dr, Erosi dan Konservasi Tanah (Malang : IKIP MALANG, 1994), hal. 103